Selasa, 17 Juli 2012

SANG RAJA TANPA MAHKOTA, SANG GURU PARA PENDIRI NEGARA

Kelahirannya  di Desa Bakur, Kleco, Ponorogo,  Jawa Timur,  pada hari Senin 16 Agustus 1883 bersamaan dengan meletusnya Gunung Krakatau yang dentumannya terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina, dan Jepang..   Ia adalah anak kedua dari dua belas bersaudara, putra dari Raden Mas Cokroamiseno, seorang Wedana Kleco dan cucu dari Raden Mas Adipati Cokronegoro, bupati Ponorogo, serta memiliki garis keturunan Pakubuwono II raja Kasunanan Surakarta . Terlahir dari keluarga bangsawan tidak membuatnya bersikap angkuh, justru karena itulah ia akhirnya menjadi  motor penggerak kemerdekaan bagi Indonesia pada saat banyak  manusia tertidur dalam belaian kaum kolonial Belanda. 

Awal dunia pendidikannya ia dapatkan dari lingkungan keluarga yang secara kebudayaan termasuk masuk dalam golongan priyayi. Pendidikan dasarnya ditempuh di daerah Madiun, di Sekolah Rendah  Belanda.  Kemudian pendidikan lanjutnya ia tempuh di OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren “sekolah pendidikan untuk pegawai pribumi”)  selama 5 tahun di Magelang. Lulus dari OSVIA  tahun 1902 ia menjadi juru tulis patih di Ngawi,  Jawa Timur, kemudian ia diangkat menjadi patih, yakni pembantu utama bupati di daerah yang sama. Pada bulan september 1905 ia berhenti dari jabatannya,  ia merasa tidak puas hidup dalam lingkungan  kepegawaian yang harus selalu  ber-jongkok2 dan me-nyembah2 kepada tuan2 Belanda. Ia  pindah ke Surabaya dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, Firma Coy & CO. Sambil bekerja, ia meneruskan pendidikan formalnya di  BAS (Burgerlijke Avond School) Jurusan Mesin. Sesudah menyelesaikan pendidikan di BAS ia bekerja di Pabrik Gula Rogojampi di Surabaya (1907-1912) dan mulai menulis di harian Bintang Surabaya. Namun pekerjaannya di pabrik gula itu ditekuninya hanya sampai bulan Mei 1912, selanjutnya ia bekerja di perusahaan Biro Teknik Surabaya. Akan tetapi pada tahun 1912 itu juga kontrak kerjanya  pada perusahaan Biro Teknik Surabaya tersebut ditebus oleh Haji Samanhoedi, Ketua Sarekat Dagang Islam dan memintanya menjadi komisaris SDI dan sekaligus diberi tugas menyusun Anggaran Dasar SDI.  Ia bersedia, dan disusunlah Anggaran Dasar SDI.

Penunjukkan dirinya oleh Haji Samanhoedi tidaklah asal tunjuk. Dalam pandangan Haji Samanhoedi  SDI  mestilah diperlebar cakupannya, tak hanya mengurusi soal –soal dagang saja, tapi juga politik dan dakwah. Ia menyadari bahwa orang yang mampu membawa kearah cita-cita tersebut tidaklah banyak, bisa jadi bahkan tidak ada. Maka dicarilah orang yang berani dan punya visi kedepan, para pencari dan pemburu bakat disebar, telinga dipasang, informasi digali. Akhirnya mereka pun mendengar, bahwa di Surabaya ada seorang pribumi, yang dididik secara barat, namun mempunyai keberanian yang luar bisa untuk berjuang demi  bangsa dan agama. Ia keturunan bangsawan dan pernah menjadi patih di sebuah kabupaten, tetapi kemudian keluar karena tidak mau tunduk kepada pimpinan Belanda. Ia mempunyai mata elang, kumis melintang, bicara lantang, dan punya visi dan misi dalam perjuangan. 

Sejak itu ia mulai melangkah berjuang dalam organisasi pergerakan nasional  mengangkat derajat,  harkat dan martabat rakyat Indonesia. Karir politik melejit bagai meteor. Atas persetujuan Haji Samangoedi ia pindahkan pusat SDI dari Solo ke Surabaya dan mengubah nama organisasi itu menjadi Sarekat Islam (SI) agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti sosial dan politik. Lebih dari itu SI ia buka untuk semua lapisan masyarakat dan semua orang Indonesia yang beragama Islam. Prestasi politik perdananya ia tunjukkan  ia sukses menyelenggarakan vergadering SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. Rapat besar itu dihadiri 15 cabang SI, tiga belas di antaranya mewakili 80.000 orang anggota. Kemudian dalam kongres  pertama SI sendiri pada 25 Maret 1913 di Solo ia terpilih menjadi wakil ketua SI Pusat mendampingi Haji Samanhoedi. Dalam posisi wakil ketua inilah ia  mulai menanamkan pengaruhnya yang segera menjalar ke mana-mana. Pada kongres SI kedua di Yogyakarta pada 19-20 April 1914 ia terpilih sebagai  Ketua SI Pusat menggantikan Haji Samanhoedi dalam usia yang masih muda 31 tahun. Di tangannya, SI berkembang pesat  menjadi organisasi politik pertama terbesar di Nusantara. Pada tahun 1914, anggota resminya mencapai 400.000 orang, sedangkan tahun 1916 terhitung 860.000 orang dan tahun 1919  melesat menjadi 2.500.000 orang serta anggota tidak resminya diperkirakan berkisar 5.000.000 orang.

Ia adalah seorang orator ulung, suara baritonnya yang berat  dapat didengar puluhan ribu orang tanpa mikrofon. Konon semua anggota organisasi pergerakan yang dipimpinnya ini  mengangkat sumpah setia dan memegang kartu anggota yang juga  dianggap sebagai jimat. Ia oleh sebagian besar anggotanya dianggap sebagai ratu adil, ’raja yang adil’, seperti  diramalkan dalam tradisi mesianik jawa, yang disebut erucakra. Elite kerajaan jawa, yang tak suka dengan campur tangan Belanda dalam urusan mereka diam2 berdiri di belakang, mendukungnya. Hal ini wajar sebab ia seorang tokoh yang sangat cerdas, lihai, dan pemberani. Ia disegani kawan kawan seperjuangan dan ditakuti  lawan-lawan politiknya. Perjuangannya dalam membela hak kaum pribumi, benar-benar menempatkan dirinya menjadi seorang tokoh yang benar-benar dihormati. Ia mempunyai kekuatan yang mampu memompa semangat perjuangan para anggota SI dan rakyat untuk bersatu melawan tirani kolonolialisme. Rakyat betul-betul mencintai pemimpin mereka yang lantang menuntut keadilan itu. Pengaruhnya yang demikian besar di kalangan rakyat membuat pemerintah kolonial Belanda takut padanya. Pemerintah kolonial Belanda bahkan menjulukinya sebagai “de Ongekroonde Koning van Java (Raja Jawa yang tidak Bermahkota).  

Julukan itu kiranya tidak berlebihan, sebab ia memang bukanlah seorang raja dengan singgasana dan mahkota di kepalanya, akan tetapi kekuatan pengaruhnya di kalangan rakyat bahkan melebihi seorang raja Jawa sekalipun ketika itu. Dialah episentrum perlawanan rakyat terhadap kesewenang-wenang kaum kolonial dan pejabat pamong praja kaki tangan kaum imperialis. Ia juga adalah orang Indonesia pertama yang memperkenalkan paradigma nasionalisme dan tidak mau mengakui nama Hindia Belanda, ia  lebih bangga menyebut Indonesia dengan India Timur atau India. Ia adalah juga penggagas pemerintahan sendiri (zelfbestuur) untuk bangsa Indonesia. Semboyan perjuangannya jelas, tegas dan dasyat, yaitu “setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.”  Semboyan singkat itu pulalah yang menjadi obat jiwa perjuangan kaum pergerakan, terutama murid-muridnya. 

Ya ia memiliki murid murid politik yang cukup banyak jumlahnya dan hampir semuanya adalah tokoh-tokoh besar dalam panggung sejarah kemerdekaan Indonesia, sebab dia adalah juga seorang guru, seorang begawan, dan rumahnya di Jalan Penoleh VII Surabaya adalah kawah candradimuka bagi kaum pergerakan. Sebagai seorang pemimpin linuwih,  murid-muridnyapun bukan orang sembarangan pula, mereka itu di  antaranya adalah Soekarno, Muso, Alimin, Semaun, Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo, Buya Hamka, Abikoesno, Tan Malaka,  HA Agus Salim, KH. Mansyur, Darsono, Sukiman, Herman Hartowisastro, W. Wondoamiseno,  AM Sangadji, Mohammad Roem, Fachrudin, Abdoel Moeis, Ahmad Sjadzili, Djojosoediro, Hisamzainie  dan  tokoh-tokoh besar lainnya. Pantaslah jika ia disebut sebagai god father dari para founding father. Ajaran politiknya antara lain adalah bahwa agama Islam itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil menjunjung tinggi kepada kuasa negeri dan agama sebaik-baiknya buat mendidik budi pekertinya rakyat, sedangkan  negeri atau pemerintah hendaklah tiada terkena pengaruhnya percampuran barang suatu agama, melainkan hendaklah melakukan satu rupa pemandangan di atas semua agama itu. Ia tidak mengharapkan sesuatu golongan rakyat berkuasa di atas golongan rakyat yang lain. Ia lebih mengharapkan hancurnya kuasa kolonialisme imperialisme  yang jahat dan memperjuangkan agar rakyat pada akhirnya  mendapat kuasa pemerintah sendiri (zelf bestuur). Baginya dasar sosialisme Islam adalah ajaran Nabi Muhammad tentang kemajuan budi pekerti rakyat, dan ia membagi  sosialisme Islam menjadi tiga anasir, yaitu: kemerdekaan (vrijheid-liberty),  persamaan (gelijk-heid-eguality), dan  persaudaraan (broederschap-fraternity).

Ia pun memberikan wejangan kepada murid-muridnya sebagai berikut. “Kalau kamu mau menjadi pemimpin rakyat yang sungguh-sungguh, lebih dahulu kamu harus cinta betul betul kepada rakyat, , korbankanlah jiwa raga dan tenagamu untuk membela kepentingan rakyat seperti membela dirimu sendiri, sebab kamu adalah satu bagian daripadanya. Dan cintailah kepada kebenaran dalam segala usahamu, tentu Allah akan menolong kamu. Jangan sombong dan jangan bercidera janji. Jangan membeda-bedakan bulu, barangsiapa datang kepadamu terimalah dengan baik dan hormat, meski fakir dan miskin sekalipun. Tetapi…….. kalau kamu berhadapan dengan lawan , baik siapa dan dari bangsa apapun juga, harus kamu tunjukkan sikap sebagai satria yang gagah berani, janganlah sekali-kali suka merendahkan diri. Seorang pemimpin harus mempunyai rasa perasaan bahwa dirinya lebih tinggi dan lebih berharga derajatnya dalam pandangan rakyat dan juga dalam pandangan Allah. Percayalah ………….. Allah tidak akan sia siakan segala usahamu sebagai pemimpin rakyat, asal hatimu jujur dan ikhlas.”



Meskipun ia mengajarkan ajaran yang sama tentang agama, sosial, politik dan strategi mencapai kemerdekaan yang bertumpu pada sosialisme Islam, akan tetapi murid-muridnya sudah tentu memiliki pemahaman yang beraneka ragam sesuai dengan latar belakang lingkungan kehidupan, pendidikan, pekerjaan dan orientasi politik masing-masing. Soekarno menjadi tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), Abikusno Tjokrosujoso menjadi tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI), Semaun, Alimin dan Musso menjadi tokoh komunis dan memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI), Tan Malaka  kekiri-kirian (MURBA), KH. Mas Mansyur menjadi tokoh Muhammadiyah dan bersama dokter Sukiman mendirikan Partai Islam Indonesia (PSI) yang berasaskan kebangsaan, sedangkan Kartosuwiryo menjadi pimpinan PSII di masa penjajahan dan  memimpin  Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di masa kemerdekaan,. Namun demikian, yang jelas kelahiran tokoh-tokoh yang mempunyai militansi tinggi itu tidak terlepas dari buah pikiran dan keteguhan Sang Guru mereka. Mereka dididik secara keras dan kuat melawan kekuasaan kolonial Belanda,  menjadi lokomotif perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Kehadiran tokoh-tokoh berpengaruh dalam pentas perjuangan kemerdekaan Indonesia di atas menegaskan bahwa sosok  Sang Guru  adalah seorang yang pluralis dan humanis. Murid-muridnya yang kemudian  terbelah secara ideologis menjadi Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme merupakan pertanda betapa istimewanya sosok Sang Maha Guru itu. Ia mampu memposisikan pikiran-pikiran murid-muridnya yang seakan terserak tanpa berbunuh-bunuhan. Mereka dipadukan dalam satu semangat pemihakan sosial yang total, keberagamaan yang membebaskan lewat pikiran Sang Maha Guru yang ia sebut sebagai Sosialisme Islam. Sangat wajar jika  Putra Fajar, Soekarno mengatakan ketika dirinya dipercaya memimpin kemerdekaan Republik Indonesia : “Andaikata  dia,  guru saya masih hidup, tentulah bukan saya yang menjadi Presiden, melainkan dia. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia…”.  Dia adalah Sang Guru Putra Fajar, dia adalah sang guru para pendiri negara, dia adalah sang raja tak bermahkota, dia adalah episentrum gerak perjuangan memerdekaan Indonesia, dia adalah Haji Umar Said Cokroaminoto. (Dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar