Selasa, 17 Juli 2012

JAWA SURINAME


“Lelakone wong soko Jowo
Ning Suriname dikontrak Londo
Tekan seprene lagi temonjo”

          Bait di atas adalah penggalan syair sebuah lagu yang sangat populer dinyanyikan warga keturunan Jawa di Suriname. Mengkisahkan perjalanan hidup mereka yang penuh penderitaan berangkat dari tanah Jawa menjadi kuli kontrak dipekerjakan di perkebunan2 milik orang2 Belanda di Suriname dan setelah puluhan tahun menetap dan berjuang di negeri itu akhirnya kehidupannya membaik, sejahtera dan bahagia. Suriname sebelum merdeka tahun 1975 adalah koloni Belanda di Amerika Selatan, luasnya 2 kali lebih dari Pulau Jawa, beriklim tropis dan berbatasan dengan Guyana Perancis di Timur, Guyana di Barat, Brasil di Selatan serta di utaranya terdapat Samudra Atlantik.
        Dari beberapa literatur yang ada diketahui bahwa Belanda telah menempuh berbagai cara untuk mendapatkan tenaga kerja dari Indonesia untuk dipekerjakan di Suriname. Orang2 Indonesia yang kebanyakan orang Jawa itu diajak dengan bujukan, paksaan bahkan banyak diantara mereka yang diculik agar dapat di bawa dan diangkut menuju Suriname. Namun demikian sebagian besar cara yang ditempuh adalah melalui badragumilang (program bedhol desa) ke Suriname. Pemerintah Kolonial Belanda beralasan pengirimian orang2 Jawa Jawa ke Suriname dilakukan dengan pertimbangan rendahnya perekonomian penduduk Jawa setelah meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1872, dan dirasa semakin padatnya populasi Pulau Jawa. Jika sebagian penduduk Pulau Jawa tidak diemigrasikan dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial dan politik dikemudian hari.
        Pengiriman orang2 Jawa ke Suriname dilakukan dengan menggunakan kapal laut dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama terdiri dari 61 pria, 31 perempuan dan dua orang anak, diberangkatkan dari Batavia pada 21 Mei 1890, dengan kapal SS Koningin Emma. Pelayaran jarak jauh ini sempat singgah di negeri Belanda, dan tiba di Suriname 9 Agustus1890. Mereka dipekerjakan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg, Suriname. Gelombang kedua diberangkatkan dari Semarang sebanyak 582 orang tiba di Suriname 16 juni 1894 dengan kapal SS Voorwarrts. Muatan yang berlebih ini menyebabkan 64 orang penumpang kapal meninggal dunia, dan 85 orang dirawat di rumah sakit setibanya di pelabunan Paramaribo, Suriname. Kejadian mengenaskan tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah Belanda, pengiriman orang2 Jawa ke Suriname tetap terus dilanjutkan gelombang demi gelombang. Pengiriman 990 orang Jawa yang tiba di Suriname pada 13 Desember 1939 tercatat sebagai pengiriman terakhir karena meletusnya PD II.
          Dari dokumen di Nationaal Arcfief Suriname, arsip Sensus Suriname 1921, Arsip Depantemen Koloni Belanda, Arsip Perusahaan Perdagangan Belanda (NHM) 1824-1964 diketahui bahwa pengiriman orang2 Jawa ke Suriname dari tahun 1890 sampai dengan 1939 dilakukan sebanyak 77 gelombang, total membawa 23.373 orang terdiri dari laki2 14629, perempuan 8725, tidak diketahui (laki2 / perempuannya) 19 orang. Dilihat dari bahasa yang mereka gunakan, dimana secara fonologi mereka menggunakan dialek Kedu yang sekaligus menjadi induk bahasa warga Suriname asal Indonesia, maka dapat diketahui bahwa orang2 Jawa yang dikirim ke Suriname yang terbanyak berasal dari daerah Magelang (Karesidenan Kedu). Sedangkan Menurut Toekiman Saimbang, diplomat Suriname keturunan Jawa, bahwa sebagian besar orang Jawa yang dikirim ke Suriname berasal dari Jawa Tengah di sekitar Surakarta – Yogyakarta. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa daerah segitiga Kedu – Surakarta – Yogyakarta merupakan daerah asal mayoritas imigran Jawa Suriname, daerah2 yang paling padat populasinya pada saat itu dan yang paling merasakan kepedihan akibat meletusnya Gunung Merapi tahun 1872. Daerah lainnya dimana para imigran Jawa Suriname berasal, dari yang paling banyak sampai yang paling sedikit, berturut-turut adalah Banyumas, Semarang, Batavia, Surabaya, dan Bandung.
           Perlu pula diketahui bahwa tidak semua orang2 yang dikirim ke Suriname adalah etnis Jawa, sebagian kecil dari mereka berasal dari etnis Sunda, Madura dan Batak. Akan tetapi keturunan etnis non Jawa ini pada akhirnya berbaur menjadi satu dengan menggunakan bahasa dan budaya Jawa. Kebanyakan orang2 Jawa yang diberangkatkan ke Suriname bukanlah atas kemauan atau kesadasaran sendiri, melainkan diwereg atau ditipu oleh agen2 pencari tenaga kerja. Para calon pekerja tersebut oleh agen pencari tenaga kerja dikatakan akan dipekerjakan di tanah seberang, yang dalam pikiran mereka adalah wilayah luar Jawa, seperti Sumatra, Kalimantan atau Sulawesi.
          Namun, tanpa sepengetahuan mereka, imigran Jawa tersebut diangkut ke wilayah koloni Belanda di kawasan Karibia Amerika dengan menggunakan kapal laut yang kondisinya memprihatinkan. Dan ketika turun dari kapal yang mengangkutnya, mereka terkejut dimana yang dijumpainya adalah tanah yang tandus di suatu wilayah yang sama sekali asing dalam perasaan mereka. Begitu mendarat mereka langsung dibawa ke daerah-daerah perkebunan, eksplorasi hutan dan industri2 lainnya di negara yang juga dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda itu. Mereka ditempatkan dalam barak-barak. berisi empat hingga enam orang. Mereka dipekerjakan di hutan, ladang dan pabrik perkebunan tebu, kopi, cokelat dan lainnya. Ada juga sebagian kecil dari mereka yang dipekerjakan dalam pembuatan jalan kereta api, dan selama berlangsungnya Perang Dunia I para imigran Jawa itu juga ada yang dipekerjakan di tambang bauksit di Moengo, Suriname.
        Tahun2 pertama mereka lalui dengan berat dan janji Belanda yang menjamin peningkatan kesejahteraan hidup mereka ternyata bohong belaka. Para kuli kontrak pun hidup telantar di tahun-tahun awal tanpa ada fasilitas seperti sekolah untuk anak-anak mereka, rekreasi, maupun uang memadai. Generasi pertama etnik Jawa di Suriname benar2 hidup dalam penderitaan. Meski pahit hidup di perkebunan2 dan pabrik2 di Suriname, mereka terima dengan lapang dada. Mereka pun tidak mau menyerah menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka alami. Mereka terus berjuang, berupaya mengatasinya dengan enerji yang ada dalam diri mereka. Lambat laun kehidupan mereka dan keturunannya pun mulai berubah.
          Perang Dunia II menghancurkan pabrik2, industri2 dan ekonomi Eropa, termasuk Belanda. Hal ini membawa dampak pada koloni2 Belanda di seberang lautan. Perusahaan2 Belanda di Suriname ikut ambruk, tutup. Dan pekerja2nya yang sebagian dipekerjakan dengan paksa pun bebas menentukan nasibnya sendiri2. Ada yang masih tetap berladang di tanah seluas 1,25 hektar pemberian pemerintah dengan beragam tanaman. Banyak pula yang beralih profesi sesuai dengan pendidikan, ketrampilan dan keahlian serta kemampuan masing2.
         Iklim kebebasan semakin terbuka lagi setelah Suriname memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1975. Di berbagai bidang di Suriname ada orang keturunan Jawa yang memegang peran, antara lain bidang kesehatan, pendidikan, teknik, olah raga, bangunan, bisnis, seni, politik, militer dan sebagainya. Demikian pula kaum wanitanya, banyak wanita keturunan Jawa di Suriname yang menjadi pengusaha, guru, insinyur, seniwati, dan politisi. Lebih dari itu, bahkan keturunan Jawa Suriname ini muncul menjadi tokoh2 penting di negara tersebut. Paul Salam Somohardjo adalah ketua parlemen Suriname periode 2005-2010. Partainya, Partai Pertjaja Luhur adalah salah satu partai yang paling berpengaruh di Suriname. Demikian pula Humprey Soekimo yang fasih berbahasa Jawa adalah kepala pemerintahan Commewijne. Pejabat tinggi Suriname lainnya yang berdarah Jawa antara lain adalah Kepala Kepolisian Suriname H Setrosentono, Menteri Perdagangan dan Industri, Micheal Miskin; Menteri Dalam Negeri, Soewarto Moestadja; Menteri Pertanian, Peternakan dan Perikanan, Hendrik Setrowidjojo; Menteri Tenaga Kerja, Pengembangan Teknologi dan Lingkungan Hidup, Ginmardo Kromosoeto, Menteri Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat Raymond Sapoen serta Menteri Sosial dan Perumahan Rakyat Hendrik Sorat Setro Wijojo.
         Dalam pada itu, Wilem Sugiono yang berdarah Kebumen muncul menjadi salah seorang konglomerat Suriname. Di bidang seni, ada pelukis Soeki Irodikromo, pematung Waidie, dan kelompok teater Does Cabaret (ludruk Suriname) yang berkelas internasional. Di bidang olah raga ada perenang cantik, Ranomi Kromowidjojo keturunan Jawa Suriname dan pemain sepakbola internasional Clarence Seedorf, dimana satu dari dua kakek kandungnya adalah Jawa Suriname, dan lain sebagainya (Dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar