Selasa, 17 Juli 2012

DARI TAEL SYAELENDRA SAMPAI PECAHAN 850.000 RUPIAH


Uang bukan sekadar alat tukar, tetapi juga cermin dari puncak-puncak peradaban dari suatu entitas politik dan budaya tertentu yang hidup pada kurun waktu tertentu pula. Dengan demikian, uang sangatlah multifungsi. Dengan membaca perkembangan mata uang,  dapat diceritakan bagaimana kondisi sebuah bangsa dan seluruh perjalanan peradabannya.


Perjalanan sejarah Indonesia pun dapat dilihat pada perkembangan uangnya.Berdasarkan inskripsi-inskripsi jaman dulu, koin Indonesia  dicetak pertama kali  sekitar tahun 800-850 Masehi, yaitu pada jaman kerajaan Mataram Syalendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan, yaitu dari perak dan emas. Koin emasnya berbentuk seperti kotak, dimana pada bagian depanya terdapat huruf Devanagari "Ta" (Singkatan dari "Tael"). Pada zaman Djenggala di Kediri yang dikenal sebagai kerajaan tertua di Pulau Jawa Timur , uang disebut Krishnala. Uang itu terbuat dari perak dan perunggu. Pada zaman Majapahit uang dikenal dengan sebutan Gobog, yang menyerupai Gobog Cina. Bentuknya bulat pipih dan pada bagian tengahnya berlubang segi empat. Pada umumnya, Gobog memiliki ukiran binatang, wayang, dan relief yang menggambarkan cerita rakyat pada masa itu.

Sejak aba ke-14 mulai pula dikenal di Indonesia jenis mata uang dinar dan dirham. Dinar dan Dirham pernah mendominasi pasar-pasar di sebagian besar Nusantara, antara lain di Pasai, Malaka, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Gowa, dan Kepulauan Maluku. Dalam buku Ying Yai Sheng Lan karya Ma Huan,  disebutkan bahwa mata uang Samudera Pasai dan beberapa kesultanan Islam lainnya di Nusantara adalah Dinar emas dengan kadar 70 persen dan mata uang keueh dari timah (1 Dinar = 1.600 keueh). Pasai telah mencetak Dinar pertamanya pada masa Sultan Muhammad (1297-1326), Kesultanan Banten,  Gowa, Demak  pun  juga mencetak mata uang dinar dan dirhamnya sendiri. Sedangkan Mataram Islam mencetak dinar dan dirhamnya pada tahun 1600-an, dan sejak  tahun 1744 mata uang Mataram dicetak oleh VOC.Berdasarkan perjanjian Mataram – VOC , dinar dicetak seberat 16 gram emas dengan kadar 75 persen dan dinamakan mahar, sedang dirham dicetak seberat 6,575 gram perak dengan kadar 79 persen dan  dinamakan rupiah. Dicetak juga uang recehan uang dibuat dari tembaga yang dinamakan doit Jawaatau doit VOC. Koin2  Jawa buatan VOC tersebut beredar sampai tahun 1826, yaitu sampai berdirinya De Javasche Bank di Batavia pada tanggal 10 Oktober 1827 yang secara resmi menghentikan peredaran uang Jawa. Meski demikian di pasaran, uang Jawa tersebut masih juga digunakan sebagai alat pertukaran.

Sejak berdirinya De Javasche Bank tersebut Pemerintah Hindia Belanda mengimpor Gulden secara besar-besaran dari Eropa. Gulden ini dibuat oleh Pemerintah Kolonial di negeri Belanda. Gulden impor itu berupa koin-koin perak dengan gambar Willem I, dengan nominal ¼, ½, dan 1 Gulden. Selain itu diedarkan juga doit-doit tembaga dengan nilai pecahan kecil. Pada jaman Raja Willem III (1849-1890),  dicetak koin perak dengan nilai 1/20 Gulden (Setengah Ketip). Pada masa ini pula dicetak koin tembaga dengan pecahan 1 dan 2 ½ Sen. Koin 1 sen mulai dicetak sejak tahun 1855, sedangkan pecahan 2½ sen sejak tahun 1856. Dalam peredaranya ternyata koin dengan nilai 2½ sen itu tidak begitu populer dimasyarakat. Orang Jawa menamai koin ini dengan sebutan "Gobang" atau "Benggol". Walaupun tidak sesukses dalam peredaran, namun koin ini sangat populer dengan fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat "kerokan".

Pada masa pendudukan Jepang hanya dicetak satu seri koin, yaitu  pecahan 1, 5, dan 10 sen, dan semuanya dicetak pada tahun  1943 dan 1944. Koin pecahan 1 dan 5 sen terbuat dari alumunium, sedangkan 10 sen terbuat dari timah. Pada koin nominal 5 dan 10 sen, di bagian muka terdapat gambar wayang, sedangkan nominal 1 sen terdapat gambar kepala wayang. Di bagian belakangnya terdapat tulisan Jepang, JAVA, nominal (5 Sen), dan tahun Jepang 2603/04.

Koin setelah kemerdekaan Republik Indonesia adalah koin tahun 1951. Koin ini terbuat dari alumunium dengan pecahan 5 sen, yang mempunyai ciri khusus, yaitu mempunyai lubang pada bagian tengahnya dan koin alumunium pecahan 10 sen (tanpa lubang) dengan gambar Garuda. Berikutnya pada tahun 1952 dicetak koin-koin dengan pecahan 1 sen (yang mempunyai desain sama dengan pecahan 5 sen bolong) dan pecahan 25 Sen. Pada tahun yang sama juga dicetak koin dengan pecahan 50 sen dengan gambar Dipanegara.

Setelah Suharto diangkat sebagai Presiden Indonesia yang kedua, maka koin-koin yang pertama kali dicetak pada awal pemerintahanya adalah tahun 1970. Koin-koin dengan bahan alumunium ini dikenal sebagai koin-koin seri burung (nominal 1 dan 5 rupiah) serta padi dan kapas (2 rupiah). Serial koin-koin menarik dari bahan perak dan emas diluncurkan pula pada tahun 1970, guna memperingati 25 tahun kemerdekaan Indonesia. Tahun 1995 diluncurkan koin spesial dengan nominal Rp.850.000,00.

Pertanyaan besar yang muncul adalah siapa yang menggunakan uang2 itu, sejak masa Syaelendara sampai dengan awal abad ke-20?  Sebab sepanjang masa itu masyarakat Indonesia masih  berada pada pola hidup subsisten ekonomi, sedangkan ekonomi uang atau cash economy baru dimulai sekitar tahun 1920an. Untuk apa uang2 itu bagi  sebagian besar masyarakat Indonesia pada sepanjang masa itu? Mereka tidak menjual barang untuk mendapatkan uang dan juga tidak membeli barang2 dengan uang. Bisa jadi oleh karena uang bukan sekedar alat tukar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar