Kelahirannya
di Desa Bakur, Kleco, Ponorogo, Jawa Timur, pada hari Senin 16 Agustus 1883 bersamaan dengan
meletusnya Gunung Krakatau yang dentumannya terdengar di seluruh
wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina, dan Jepang.. Ia
adalah anak kedua dari dua belas bersaudara, putra dari Raden Mas Cokroamiseno,
seorang Wedana Kleco dan cucu dari Raden Mas Adipati Cokronegoro, bupati
Ponorogo, serta memiliki garis keturunan Pakubuwono II raja Kasunanan Surakarta
. Terlahir
dari keluarga bangsawan tidak membuatnya bersikap angkuh, justru karena itulah
ia akhirnya menjadi motor penggerak
kemerdekaan bagi Indonesia pada saat banyak manusia tertidur dalam belaian kaum kolonial
Belanda.
Awal dunia pendidikannya ia dapatkan dari lingkungan keluarga yang secara
kebudayaan termasuk masuk dalam golongan priyayi. Pendidikan
dasarnya ditempuh di daerah Madiun, di Sekolah Rendah Belanda.
Kemudian pendidikan lanjutnya ia tempuh di OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche
Ambtenaren “sekolah pendidikan untuk pegawai pribumi”) selama 5 tahun di Magelang. Lulus dari
OSVIA tahun 1902 ia menjadi juru tulis
patih di Ngawi, Jawa Timur, kemudian ia
diangkat menjadi patih, yakni pembantu utama bupati di daerah yang sama. Pada
bulan september 1905 ia berhenti dari jabatannya, ia merasa tidak puas hidup dalam lingkungan kepegawaian yang harus selalu ber-jongkok2 dan me-nyembah2 kepada tuan2
Belanda. Ia pindah ke Surabaya dan
bekerja di sebuah perusahaan swasta, Firma Coy & CO. Sambil bekerja, ia meneruskan pendidikan formalnya di BAS (Burgerlijke Avond School) Jurusan Mesin.
Sesudah menyelesaikan pendidikan di BAS ia bekerja di Pabrik Gula Rogojampi di
Surabaya (1907-1912) dan mulai menulis di harian Bintang Surabaya. Namun
pekerjaannya di pabrik gula itu ditekuninya hanya sampai bulan Mei 1912,
selanjutnya ia bekerja di perusahaan Biro Teknik Surabaya. Akan tetapi pada
tahun 1912 itu juga kontrak kerjanya pada
perusahaan Biro Teknik Surabaya tersebut ditebus oleh Haji Samanhoedi, Ketua
Sarekat Dagang Islam dan memintanya menjadi komisaris SDI dan sekaligus diberi
tugas menyusun Anggaran Dasar SDI. Ia
bersedia, dan disusunlah Anggaran Dasar SDI.
Penunjukkan dirinya oleh Haji Samanhoedi tidaklah asal
tunjuk. Dalam pandangan Haji Samanhoedi SDI mestilah diperlebar cakupannya, tak hanya
mengurusi soal –soal dagang saja, tapi juga politik dan dakwah. Ia menyadari
bahwa orang yang mampu membawa kearah cita-cita tersebut tidaklah banyak, bisa
jadi bahkan tidak ada. Maka dicarilah orang yang berani dan punya visi kedepan,
para pencari dan pemburu bakat disebar, telinga dipasang, informasi digali. Akhirnya
mereka pun mendengar, bahwa di Surabaya ada seorang pribumi, yang dididik
secara barat, namun mempunyai keberanian yang luar bisa untuk berjuang
demi bangsa dan agama. Ia keturunan
bangsawan dan pernah menjadi patih di sebuah kabupaten, tetapi kemudian keluar
karena tidak mau tunduk kepada pimpinan Belanda. Ia mempunyai mata elang, kumis melintang, bicara lantang,
dan punya visi dan misi dalam perjuangan.
Sejak
itu ia mulai melangkah berjuang dalam organisasi pergerakan nasional mengangkat derajat, harkat dan martabat rakyat Indonesia. Karir
politik melejit bagai meteor. Atas persetujuan Haji Samangoedi ia pindahkan
pusat SDI dari Solo ke Surabaya dan mengubah nama organisasi itu menjadi
Sarekat Islam (SI) agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi,
tapi juga dalam bidang lain seperti sosial dan politik. Lebih dari itu SI ia
buka untuk semua lapisan masyarakat dan semua orang Indonesia yang beragama
Islam. Prestasi politik
perdananya ia tunjukkan ia sukses
menyelenggarakan vergadering SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. Rapat
besar itu dihadiri 15 cabang SI, tiga belas di antaranya mewakili 80.000 orang
anggota. Kemudian dalam kongres pertama
SI sendiri pada 25 Maret 1913 di Solo ia terpilih menjadi wakil ketua SI Pusat mendampingi
Haji Samanhoedi. Dalam posisi wakil ketua inilah ia mulai menanamkan pengaruhnya yang segera
menjalar ke mana-mana. Pada kongres SI kedua di Yogyakarta pada 19-20 April
1914 ia terpilih sebagai Ketua SI Pusat menggantikan
Haji Samanhoedi dalam usia yang masih muda 31 tahun. Di tangannya, SI berkembang
pesat menjadi organisasi politik pertama
terbesar di Nusantara. Pada tahun 1914, anggota resminya mencapai 400.000
orang, sedangkan tahun 1916 terhitung 860.000 orang dan tahun 1919 melesat menjadi 2.500.000 orang serta anggota
tidak resminya diperkirakan berkisar 5.000.000 orang.
Ia adalah seorang orator ulung, suara baritonnya yang
berat dapat didengar puluhan ribu orang
tanpa mikrofon. Konon semua anggota organisasi pergerakan yang dipimpinnya ini mengangkat sumpah setia dan memegang kartu
anggota yang juga dianggap sebagai
jimat. Ia oleh sebagian besar anggotanya dianggap sebagai ratu adil, ’raja yang
adil’, seperti diramalkan dalam tradisi
mesianik jawa, yang disebut erucakra. Elite kerajaan jawa, yang tak suka dengan
campur tangan Belanda dalam urusan mereka diam2 berdiri di belakang,
mendukungnya. Hal ini wajar sebab ia seorang tokoh yang sangat cerdas, lihai,
dan pemberani. Ia disegani kawan kawan seperjuangan dan ditakuti lawan-lawan politiknya. Perjuangannya dalam
membela hak kaum pribumi, benar-benar menempatkan dirinya menjadi seorang tokoh
yang benar-benar dihormati. Ia mempunyai kekuatan yang mampu memompa semangat
perjuangan para anggota SI dan rakyat untuk bersatu melawan tirani
kolonolialisme. Rakyat betul-betul mencintai pemimpin mereka yang lantang menuntut
keadilan itu. Pengaruhnya
yang demikian besar di kalangan rakyat membuat pemerintah kolonial Belanda
takut padanya. Pemerintah kolonial Belanda bahkan menjulukinya sebagai “de
Ongekroonde Koning van Java (Raja Jawa yang tidak Bermahkota).
Julukan itu kiranya tidak berlebihan,
sebab ia memang bukanlah seorang raja dengan singgasana dan mahkota di kepalanya,
akan tetapi kekuatan pengaruhnya di kalangan rakyat bahkan melebihi seorang
raja Jawa sekalipun ketika itu. Dialah episentrum perlawanan rakyat terhadap
kesewenang-wenang kaum kolonial dan pejabat pamong praja kaki tangan kaum
imperialis. Ia juga adalah orang Indonesia pertama yang memperkenalkan
paradigma nasionalisme dan tidak mau mengakui nama Hindia Belanda, ia lebih bangga menyebut Indonesia dengan India
Timur atau India. Ia adalah juga penggagas pemerintahan sendiri (zelfbestuur)
untuk bangsa Indonesia. Semboyan perjuangannya jelas, tegas dan dasyat, yaitu
“setinggi-tinggi ilmu,
semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Semboyan singkat itu pulalah yang menjadi
obat jiwa perjuangan kaum pergerakan, terutama murid-muridnya.
Ya ia memiliki murid murid
politik yang cukup banyak jumlahnya dan hampir semuanya adalah tokoh-tokoh
besar dalam panggung sejarah kemerdekaan Indonesia, sebab dia adalah juga
seorang guru, seorang begawan, dan rumahnya di Jalan Penoleh VII Surabaya
adalah kawah candradimuka bagi kaum pergerakan. Sebagai seorang pemimpin
linuwih, murid-muridnyapun bukan orang
sembarangan pula, mereka itu di antaranya adalah Soekarno, Muso, Alimin, Semaun,
Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo, Buya Hamka, Abikoesno, Tan Malaka, HA Agus Salim, KH. Mansyur, Darsono, Sukiman,
Herman Hartowisastro, W. Wondoamiseno, AM
Sangadji, Mohammad Roem, Fachrudin, Abdoel Moeis, Ahmad Sjadzili, Djojosoediro,
Hisamzainie dan tokoh-tokoh besar lainnya. Pantaslah jika ia
disebut sebagai god father dari para founding father. Ajaran politiknya antara
lain adalah bahwa agama Islam
itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil menjunjung
tinggi kepada kuasa negeri dan agama sebaik-baiknya buat mendidik budi
pekertinya rakyat, sedangkan negeri atau
pemerintah hendaklah tiada terkena pengaruhnya percampuran barang suatu agama,
melainkan hendaklah melakukan satu rupa pemandangan di atas semua agama itu. Ia
tidak mengharapkan sesuatu golongan rakyat berkuasa di atas golongan rakyat
yang lain. Ia lebih mengharapkan hancurnya kuasa kolonialisme imperialisme yang jahat dan memperjuangkan agar rakyat pada
akhirnya mendapat kuasa pemerintah
sendiri (zelf bestuur). Baginya
dasar sosialisme Islam adalah ajaran Nabi Muhammad tentang kemajuan budi
pekerti rakyat, dan ia membagi
sosialisme Islam menjadi tiga anasir, yaitu: kemerdekaan
(vrijheid-liberty), persamaan
(gelijk-heid-eguality), dan persaudaraan
(broederschap-fraternity).
Ia pun memberikan wejangan
kepada murid-muridnya sebagai berikut. “Kalau kamu mau menjadi pemimpin rakyat
yang sungguh-sungguh, lebih dahulu kamu harus cinta betul betul kepada rakyat,
, korbankanlah jiwa raga dan tenagamu untuk membela kepentingan rakyat seperti
membela dirimu sendiri, sebab kamu adalah satu bagian daripadanya. Dan
cintailah kepada kebenaran dalam segala usahamu, tentu Allah akan menolong
kamu. Jangan sombong dan jangan bercidera janji. Jangan membeda-bedakan bulu,
barangsiapa datang kepadamu terimalah dengan baik dan hormat, meski fakir dan
miskin sekalipun. Tetapi…….. kalau kamu berhadapan dengan lawan , baik siapa
dan dari bangsa apapun juga, harus kamu tunjukkan sikap sebagai satria yang
gagah berani, janganlah sekali-kali suka merendahkan diri. Seorang pemimpin
harus mempunyai rasa perasaan bahwa dirinya lebih tinggi dan lebih berharga
derajatnya dalam pandangan rakyat dan juga dalam pandangan Allah. Percayalah
………….. Allah tidak akan sia siakan segala usahamu sebagai pemimpin rakyat, asal
hatimu jujur dan ikhlas.”
Meskipun ia mengajarkan
ajaran yang sama tentang agama, sosial, politik dan strategi mencapai
kemerdekaan yang bertumpu pada sosialisme Islam, akan tetapi murid-muridnya
sudah tentu memiliki pemahaman yang beraneka ragam sesuai dengan latar belakang
lingkungan kehidupan, pendidikan, pekerjaan dan orientasi politik
masing-masing. Soekarno menjadi tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI),
Abikusno Tjokrosujoso menjadi tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI),
Semaun, Alimin dan Musso menjadi tokoh komunis dan memimpin Partai Komunis
Indonesia (PKI), Tan Malaka
kekiri-kirian (MURBA), KH. Mas Mansyur menjadi tokoh Muhammadiyah dan
bersama dokter Sukiman mendirikan Partai Islam Indonesia (PSI) yang berasaskan
kebangsaan, sedangkan Kartosuwiryo menjadi pimpinan PSII di masa penjajahan dan
memimpin
Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di masa kemerdekaan,. Namun
demikian, yang jelas kelahiran tokoh-tokoh yang mempunyai militansi tinggi itu
tidak terlepas dari buah pikiran dan keteguhan Sang Guru mereka. Mereka dididik
secara keras dan kuat melawan kekuasaan kolonial Belanda, menjadi lokomotif perjuangan kemerdekaan
Indonesia.
Kehadiran tokoh-tokoh
berpengaruh dalam pentas perjuangan kemerdekaan Indonesia di atas menegaskan
bahwa sosok Sang Guru adalah seorang yang pluralis dan humanis.
Murid-muridnya yang kemudian terbelah
secara ideologis menjadi Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme merupakan
pertanda betapa istimewanya sosok Sang Maha Guru itu. Ia mampu memposisikan
pikiran-pikiran murid-muridnya yang seakan terserak tanpa berbunuh-bunuhan.
Mereka dipadukan dalam satu semangat pemihakan sosial yang total, keberagamaan
yang membebaskan lewat pikiran Sang Maha Guru yang ia sebut sebagai Sosialisme
Islam. Sangat wajar jika Putra Fajar, Soekarno
mengatakan ketika dirinya dipercaya memimpin kemerdekaan Republik Indonesia : “Andaikata dia, guru
saya masih hidup, tentulah bukan saya yang menjadi Presiden, melainkan dia.
Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia…”. Dia adalah Sang Guru Putra Fajar, dia adalah sang
guru para pendiri negara, dia adalah sang raja tak bermahkota, dia adalah
episentrum gerak perjuangan memerdekaan Indonesia, dia adalah Haji Umar Said
Cokroaminoto. (Dari berbagai sumber).