Pada waktu saya kecil tahun 1970an di daerah
saya, Kabupaten Kudus bagian timur anak-anak merayakan dua kali lebaran
dalam bulan Syawal, yaitu Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Idul Fitri
anak-anak kenal dengan istilah “badasyawal atau bada saja”, sedangkan Lebaran Ketupat disebut “bada kupat”.
Dua-duanya dirayakan secara meriah, hanya saja lebaran yang pertama
terasa ada sedikit beban, yakni mesti mengunjungi sanak saudara baik
yang rumahnya dekat dekat maupun jauh pada siang hari, dan mengujungi
semua tetangga pada malam harinya, sedangkan pada Lebaran Ketupat
rasanya senang-senang saja karena makan ketupat dan lepet sepanjang hari
dan “berwisata” ke Bulusan atau tempat lain yang ada perayaan Kupatan.
Sejauh yang saya ingat pada Lebaran Ketupat waktu itu, pergi ke Bulusan
rasanya hampir-hampir seperti suatu “keharusan”. Dari rumah membawa
bekal ketupat dan lepet secukupnya, sesampainya di lokasi kunjungan
diberikan kepada bulus-bulus yang ada di situ yang pada waktu itu
memang masih ada dan cukup banyak jumlahnya. Konon bulus-bulus itu
adalah keturunan dari Umara dan Umari, dua orang santri Kyai Dado yang
disabda Sunan Muria menjadi bulus. Pada bulan Ramadhan, tepatnya pada
waktu malam Nuzulul Qur'an datang Sunan Muria untuk bersilaturrahmi dan
membaca Al Qur'an bersama Kyai Dado, sahabatnya. Dalam perjalanan menuju
tempat kediaman Kyai Dado di malam hari itu, Sunan Muria mendengar
orang bekerja di sawah sedang ndaut (mangambil bibit padi). Sunan Muria
berhenti sejenak dan berkata, "Lho, malam Nuzulul Qur'an kok tidak baca
Al Qur'an, malah di sawah berendam air seperti bulus?" Akibat perkataan
Sunan Muria itu Umara dan Umari seketika itu juga berubah wujud menjadi
bulus (kura-kura air tawar). Atas kejadian itu Kyai Dado memintakan
maaf atas kekhilafan dua orang santrinya kepada Suna Muria, akan
tetapi semuanya sudah terlanjur terjadi, tidak bisa dikembalikan
seperti sedia kala. Akhirnya, Sunan Muria berkata kepada Kyai Dado,
"Besok anak cucu kita akan menghormati mereka berdua dan keturunannya,
pada setiap sepekan setelah Idul Fitri akan datang berbondong-bondong
anak cucu kita dengan membawa oleh-oleh untuk diberikan kepada Umara
dan Umari yang sudah menjadi bulus itu dan keturunannya”. Tentu cerita
di atas hanyalah sebuah legenda, sebuah pesan untuk tetap menjaga
keberlanjutan harmonisasi masyarakat Jawa meskipun ada
perubahan-perubahan keyakinan dari Hindu/Budha dan kepercayaan lokal ke
Islam. Berpijak pada legenda Umara dan Umari ini pulalah, dimana di
daerah-daerah lain tidak ditemukan legenda sekuat legenda Umara dan
Umari, maka bisa jadi Sunan Murialah kiranya yang merintis dan
menggalakkan tradisi Lebaran Ketupat, sudah tentu dengan dukungan
wali-wali yang lain , terutama Sunan Kalijaga.
Lebaran Ketupat
bukanlah ajaran Islam yang berasal dari Rasulullah. Di dalam ajaran
Islam hanya ada satu lebaran syawal, yaitu Idul Fitri 1 Syawal yang
merupakan hari kemenangan umat Islam setelah satu bulan menunaikan
ibadah puasa. Lebaran Ketupat adalah salah satu hasil akulturasi
kebudayaan Indonesia pra Islam dengan Islam. Lebaran Ketupat di semua
daerah yang melaksanakannya, waktu pelaksanaannya sama yaitu pada hari
ketujuh setelah Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini sangat terasa di
daerah Kudus, dan daerah-daerah sekitarnya, seperti Jepara, Pati, Demak,
dan Rembang, dan beberapa daerah pantura lainnya. Ya, Lebaran Ketupat
memang berasal dari wilayah pesisir utara Jawa, tempat awal penyebaran
Islam di pulau Jawa. Tradisi ini kemudian menyebar ke daerah-daerah
pedalaman hingga akhirnya tersebar ke hampir seluruh pulau Jawa.
Kemudian dari pulau Jawa tradisi Bada Kupat ini menyebar ke seluruh
pelosok nusantara yang dibawa oleh orang Jawa yang merantau ke luar
pulau. sehingga menjadi tradisi yang menasional. Lebaran Ketupat atau
dikenal juga dengan istilah syawalan kemudian menjadi tradisi
masyarakat Indonesia di berbagai daerah, dari mulai Jawa, Madura,
Sumatera, Kalimantan dan lainnya. Bahkan orang Jawa pun yang merantau
ke luar negeri membawa juga tradisi Bada Kupat ini, sehingga di
Malaysia, Singapura, Brunai, Philipina, dan Kepulauan Cocos dimana
orang Jawa ada terdapat pula tradisi Lebaran Ketupat.
Meski media dan waktu pelaksanaannya sama, yaitu ketupat dan sepekan setelah 1 Syawal, akan tetapi ekspresi perayaan Lebaran Ketupat di masing-masing daerah berbeda-beda. Di Lamongan, lebaran ketupat dilakukan dengan selamatan dan makan bersama di Gunung Menjuluk di Desa Sedayulawas, utara Lamongan. Masyarakat berbondong-bondong naik ke Gunung Menjuluk dengan membawa kupat, kepet, lauk, dan jajan lainnya. Sesampainya di puncak gunung mereka berdoa bersama, kemudian dengan makan kupat, lepet dan makanan lainnya secara ramai-ramai, sambul beramah-tamah. Di Bangka Belitung, tradisi lebaran ketupat diwujudkan dalam perang ketupat yang dilaksanakan pada hari ke delapan bulan Syawal. Dengan aba-aba peluit dari seorang pemimpin, perang ketupat dimulai, 40 pemuda yang terbagi menjadi dua kelompok saling berhadap-hadapan untuk lempar melempar ketupat. Di Lombok, Lebaran Ketupat juga disebut lebaran “adat” atau lebaran “kodeq” atau lebaran “nine”. Ciri khasnya berlibur ke tempat wisata dengan berbekal makanan ketupat. Salah satunya di Pantai Mendudu, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat. Sejak pagi hingga sore warga memenuhi kawasan pantai tersebut. Acara intinya memukul beduk, kreasi kulit ketupat. Sebagai hiburan kadang ditampilkan grup kasidahdan biasanya dihadiri oleh bupati dan wakil bupati Lombok Barat bersama para pejabat daerah lainnya. Di Trenggalek, lebaran ketupat dilaksanakan di Kecamatan Durenan Trenggalek. Pada Lebaran Ketupat ini warga Kecamatan Durenan menyediakan ketupat lepet dan lauk kelengkapannya dalam jumlah sangat banyak untuk disajikan dan disantap siapapun orang yang bertamu ke rumahnya secara gratis. Oleh karenanya pada setiap Lebaran Ketupat Kecamatan Durenan ramai sekali karena banyak orang-orang dari luar Kecamatan Durenan, bahkan luar Kabupaten Trenggalek yang datang ke kecamatan tersebut untuk bersantap ketupat sepuas-puasnya. Di Madura, Lebaran Ketupat disebut dengan “Telasan Topak”. Pada Lebaran Ketupat ini, cerminan kejayaan di tanah rantau mereka perlambangkan dalam banyak sedikitnya perhiasan emas yang dikenakan kaum perempuan mereka. Perhiasan emas bagi kaum perempuan Madura telah menjadi pelengkap utama busana. Hiasan di rambut berupa cucuk sisir dan cucuk dinar, misalnya, terbuat dari emas. Suasana hari raya krtupat di Madura juga tak kalah meriah dibanding daerah lain. Mereka bahkan konsisten hanya akan memasak dan mengkonsumsi ketupat ketika sudah memasuki hari kedelapan bulan syawal. Di Ketapang, Kalimantan Barat, para ibu rumah tangga menyiapkan makanan istimewa berupa ketupat colet yang terbuat dari beras ketan atau beras biasa. Setiap rumah dipastikan akan menyajikan ketupat colet yaitu ketupat yang dibuat dari beras dengan lauk pauk biasanya daging sapi atau ayam bahkan kadang pula dengan menggunakan itik. Penyediaan ketupat colet sudah ada sejak hari pertama bulan Syawal. Setelah bersantap ketupat colet, agenda rutin berikutnya adalah silaturrahmi ke keluarga atau ke tetangga-tetangga dekat. Kemudian dilakukan kenduri dengan pembacaan doa dari rumah ke rumah secara bergiliran yang berlangsung sekitar 15 sampai 20 menit setiap rumah. Di Gorontalo, tradisi lebaran ketupat semula hanya dilakukan di wilayah pemukiman warga yang berasal dari Jawa, tetapi kemudian berkembang ke wilayah-wilayah lainnya di Gorontalo. Pada lebaran ketupat di Gorontalo ini, masyarakat berbondong-bondong memadati ruas-ruas jalan di Gorontalo menuju ke pusat perayaan, sementara itu, sejumlah warga yang berada di pusat perayaan Lebaran Ketupat telah siap menyambut kedatangan para tamu dengan berbagai menu makanan, terutama ketupat, dodol dan nasi bulu atau nasi bambu. Di Ngawi, lebaran ketupat dilaksanakan dengan berdoa dan makan ketupat bersama di masjid-masjid. Sajian ketupat dan lepet ditambah lauk pelengkap, dihidangkan di masjid-masjid. Warga kembali saling bertemu meskipun sebagian sudah bersilaturahmi pada hari pertama bulan syawal. Di Yogyakarta, tradisi lebaran ketupat juga digelar oleh Ngayogyakarta Hadiningrat yang biasa disebut Grebeg Syawal, dilaksanakan 1 Syawal. Tradisi ini sebagai perwujudan sedekah dari Sultan kepada rakyatnya yang disimbolisasikan dengan Gunungan yang berisi ketupat dan sayuran di antara kacang panjang, cabe dan sebagainya. Di Jember, warga menggelar tradisi lebaran ketupat dengan kegiatan pegon keliling desa dengan start di Desa Sumber Rejo, Kecamatan Ambulu dan berakhir di kawasan pantai selatan Watu Ulo. Ratusan pemilik pegon yang merupakan kendaraan tradisional bertenaga sapi mengikuti tradisi tahunan ini. Sambil membawa serta sanak familinya, mereka menikmati perjalanan berkeliling desa dan melintasi kawasan persawahan sepanjang kurang lebih 10 km. Suasananya sangat semarak lantaran pegon-pefon tersebut diberi aneka macam hiasan dengan dominasi janur kuning khas ornamen lebaran ketupat. Di Jepara Lebaran Ketupat dirayakan dengan pesta lomban, karena itu Lebaran Ketupat di Jepara juga disebut Bada Lomban.. anak-anak Jepara merayakan hari raya ini dengan memakai baju warna-warni dan siap untuk “berlomban-ria” di Pantai Kartini Jepara sebagai pusat keramaian pesta lomban.
Menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annal, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Kesultanan Demak pada awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Warna kuning pada janur dimaknai oleh de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur. Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, yang membangun kekuatan politik dan penyiaran agama Islam dengan dukungan Walisongo. Ketika menyebarkan Islam ke pedalaman, Walisongo melakukan pendekatan budaya agraris, tempat unsur keramat dan berkah sangatlah penting untuk melanggengkan kontinyuitas agar tidak terjadi cultural lag. Di sinilah kemudian terjadi akulturasi. Dalam hubungan inilah Walisongo lalu memperkenalkan dan memasukkan ketupat, simbol yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat, dalam perayaan lebaran, dan perayaan ini dijatuhkan pada tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah hari raya Idul Fitri dan enam hari setelah puasa sunah Syawal. de Graaf berpendapat bahwa Lebaran ketupat diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran. Dewi Sri adalah dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Ia dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti Mataram Kuno, Kediri, Pajajaran dan Majapahit. Dalam pengubahsuaian itu terjadi desakralisasi dan demitologisasi. Dewi Sri tak lagi dipuja sebagai dewa padi atau kesuburan tapi hanya dijadikan lambang yang direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan. Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, akan tetapi dalam bentuk yang lain sama sekali dari sebelumnya. Para wali tetap melestarikan tradisi ini. Upacara slametan atau syukuran panen yang disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad adalah salah satu bentuk pelestarian pemujaan Dewi Sri. Dalam upacara ritual semacam itu, ketupat menjadi bagian dari sesaji – hal sama juga terjadi dalam upacara adat di Bali.
Menurut Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa, kata ketupat berasal dari kupat. Parafrase kupat adalah ngaku lepat: mengaku bersalah. Janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata “jatining nur” yang bisa diartikan hati nurani. Secara filosofis beras yang dimasukan dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi. Dengan demikian bentuk ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani. Bagi sebagian masyarakat Jawa, bentuk ketupat (persegi) diartikan dengan kiblat papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin utama: timur, barat, selatan, dan utara. Artinya, ke arah manapun manusia akan pergi ia tak boleh melupakan pacer (arah) kiblat atau arah kiblat (salat). Rumitnya anyaman janur untuk membuat ketupat merupakan simbol dari kompleksitas masyarakat Jawa saat itu. Anyaman yang melekat satu sama lain merupakan anjuran bagi seseorang untuk melekatkan tali silaturahmi tanpa melihat perbedaan kelas sosial (Dari berbagai sumber).